MAKALAH
Tentang
KEDUDUKAN
WALI DALAM PERNIKAHAN
Diajukan
sebagai tugas dalam mata kuliah
FIKIH
MUQARAN
Oleh:
Pepi
Hendriadi
310.
195
Dosen
Pembimbing:
Hamda
Sulfinadia, M.Ag,
JURUSAN
AL-AHWAL ASY-SYAKSHIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM
BONJOL PADANG
1434
H / 2013 M
BAB I
PENDAHULUAN
Apakah wali merupakan syarat untuk sahnya
pernikahan? Pertanyaan ini sudah lama menjadi bahan perdebatan antara para
fiqih (ahli ilmu fiqih), sejak lahirnya mazhab syafi’I yang didirikan oleh imam
idris as syafi’I, mazhab hanafi yang didirikan oleh imam abu hanifah.
Perbedan pendapat itu bukanlah perselisihan
pendapat. pada umumnya umat Islam diindonesia menganut paham mazhab syafi’I
yang menganggap wali adalah salah satu syarat sahnya suatu pernikahan.
Maka pada makalah ini penulis akan mencoba
menjelaskan masalah kedudukan wali dalam pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kedudukan wali dalam pernikahan
A. Pengertian wali
Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan
kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.[1]
Dan wali mempunyai banyak arti antara lain:
1.
Orang
yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu
dewasa.
2.
Pengasuh
pengantin perempuan pada waktu menikah pada waktu menikah (yaitu yang melakukan
janji nikah dengan pengantin laki-laki).
3.
Orang
saleh (suci), penyebar agama.
4.
Kepala
pemerintah.[2]
B. Syarat-syarat wali
Syarat-syarat wali adalah: merdeka, berakal
sehat, dan dewasa, baik dia seorang muslim maupun bukan. Budak, orang gila, dan
anak kecil tidak dapat menjadi wali karena mereka tidak berhak mewalikan
dirinya sendiri, apalagi terhadap orang lain.
Syarat keempat untuk menjadi wali ialah
beragama Islam jika yang diwalikannya itu orang Islam. Non muslim tidak boleh
menjadi walinya orang Islam. Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’ 141:
tûïÏ%©!$# tbqÝÁ/utIt öNä3Î/ bÎ*sù tb%x. öNä3s9 Óx÷Fsù z`ÏiB «!$# (#þqä9$s% óOs9r& `ä3tR öNä3yè¨B bÎ)ur tb%x. tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 Ò=ÅÁtR (#þqä9$s% óOs9r& øÈqóstGó¡tR öNä3øn=tæ Nä3÷èuZôJtRur z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 ª!$$sù ãNä3øts öNà6oY÷t/ tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 3 `s9ur @yèøgs ª!$# tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang
menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang
mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata:
"Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang
kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami
turut memenangkanmu[363], dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka
Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman.
v Dan surat An-Nisaa’ 144
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#räÏGs? tûïÍÏÿ»s3ø9$# uä!$uÏ9÷rr& `ÏB Èbrß tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 tbrßÌè?r& br& (#qè=yèøgrB ¬! öNà6øn=tæ $YZ»sÜù=ß $·YÎ6B ÇÊÍÍÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu).[3]
C. Pendapat ulama tentang wali
Ø Menurut mazhab hanafi
Menurut hanafi, nikah (perkawinan) itu tidak
merupakan syarat harus pakai wali. Hanafi dan beberapa penganutnya mengatakan
bahwa akibat ijab (penawaran), akad nikah yang diucapkan oleh wanita yang
dewasa dan berakal (akil baligh) adalah sah secara mutlak, demikian juga
menurut abu jusuf, imam malik dan riwayat ibnu qasim. Beliau itu mengmukakan
pendapatnya berdasarkan analisis dari Quran dan Hadist Rasul.
Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 230:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù yy$uZã_ !$yJÍkön=tæ br& !$yèy_#utIt bÎ) !$¨Zsß br& $yJÉ)ã yrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ßrßãn «!$# $pkß]Íhu;ã 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇËÌÉÈ
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui.
Ø Menurut mazhab syafi’I
Imam idris as syafi’I beserta para penganutnya
bertitik tolak dari hadist Rasulullah SAW. Yang diriwayatkan oleh imam ahmad
dan al tarmidzi berasal dari siti aisyah (istri rasulullah) berbunyi seperti
dibawah ini:
“Barang siapa diantara perempuan yang nikah
dengan tidak seizin walinya, nikah itu batal”.
Dalam hadist rasulullah tersebut terlihat bahwa
seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti tanpa
wali, nikah itu batal menurut hukum Islam atau nikahnya tidak sah.
Ø Menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan
Menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan, akad nikah dilakukan oleh wali sendiri atau diwakilkan
kepada pegawai pencatat nikah atau P3NTR atau orang lain yang menurut pegawai
pencatat nikah (P3NTR) dianggap memenuhi syarat.
Seperti yang terdapat pada pasal 6 ayat 2
“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu ) tahun, harus mendapat izin dari kedua
orang tua”.[4]
Ø Menurut mazhab Hambali dan Maliki
Wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Kalau
ayah tidak mempunyai orang yang diwasiati, maka perwalian jatu ketangan hakim
syar’iy. Sedangkan kakek , sama sekali tidak mempunyai hak dalam perwalian,
sebab kkakek menurut mereka tidak bisa mempunyai posisi ayah. Kalau posisi
kakek dari pihak ayah sudah seperti itu, maka apa lagi kakek dari pihak ibu.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.
Bahwa menurut mazhab syafi’I, wali merupakan
syarat untuk sahnya nikah, apabila wanita menikah tanpa wali, maka nikahnya
batal.
Menurut mazhab hanafi, wali tidak merupakan
syarat untuk sahnya nikah, tetapi sunnah saja hukumnya boleh ada wali boleh
tidak ada, yang penting harus ada izin orang tua pada waktu menikah, baik dia
pria maupun wanita.
Sedangkan menurut undang-undang nomor 1 tahun
1974, tidak jelas mengatur tentang wali nikah, tetapi disyaratkan harus ada
izin orang tua bagi yang menikah apabila calon pengantin belum berumur 21
tahun.
B. Saran
Saran pemakalah kepada pembaca semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua dan menambah pengetahuan kita dalam mempelajari
ilmu Fiqih Muqaran. Demikianlah makalah ini kami buat jika masih
terdapat kekurangan yang tidak semestinya, terlebih dahulu pemakalah
kebijaksanaan bapak/ibuk memakluminya. Kami juga selalu menerima kritikan dan
saran yang sifatnya membangun dari rekan-rekan sekalian demi masa depan kita
yang lebih baik tentunya.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq Sayyid, Fiqih
Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara), 2004
Ghazaly Rahman Abd., Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada
Media Group), 2002
Ramulyo Idris Mohd., Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1996
[1] Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004), Hal 11
[2] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih
Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2002), Hal 165
[3] Sayyid Sabiq, Op-Cit,
Hal 11-12
[4] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Hal 216-223
[5] Abd. Rahman Ghazaly, Op-Cit,
166-167