Senin, 01 April 2013

KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN


MAKALAH

Tentang

KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN
Diajukan sebagai tugas dalam mata kuliah

FIKIH MUQARAN



Oleh:
Pepi Hendriadi
310. 195


Dosen Pembimbing:
Hamda Sulfinadia, M.Ag,




JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M

BAB I
PENDAHULUAN

Apakah wali merupakan syarat untuk sahnya pernikahan? Pertanyaan ini sudah lama menjadi bahan perdebatan antara para fiqih (ahli ilmu fiqih), sejak lahirnya mazhab syafi’I yang didirikan oleh imam idris as syafi’I, mazhab hanafi yang didirikan oleh imam abu hanifah.
Perbedan pendapat itu bukanlah perselisihan pendapat. pada umumnya umat Islam diindonesia menganut paham mazhab syafi’I yang menganggap wali adalah salah satu syarat sahnya suatu pernikahan.
Maka pada makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan masalah kedudukan wali dalam pernikahan.



















BAB II
PEMBAHASAN
Kedudukan wali dalam pernikahan

A.    Pengertian wali
Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.[1] Dan wali mempunyai banyak arti antara lain:
1.      Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak  yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.
2.      Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
3.      Orang saleh (suci), penyebar agama.
4.      Kepala pemerintah.[2]

B.     Syarat-syarat wali
Syarat-syarat wali adalah: merdeka, berakal sehat, dan dewasa, baik dia seorang muslim maupun bukan. Budak, orang gila, dan anak kecil tidak dapat menjadi wali karena mereka tidak berhak mewalikan dirinya sendiri, apalagi terhadap orang lain.
Syarat keempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam jika yang diwalikannya itu orang Islam. Non muslim tidak boleh menjadi walinya orang Islam. Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’ 141:
tûïÏ%©!$# tbqÝÁ­/uŽtItƒ öNä3Î/ bÎ*sù tb%x. öNä3s9 Óx÷Fsù z`ÏiB «!$# (#þqä9$s% óOs9r& `ä3tR öNä3yè¨B bÎ)ur tb%x. tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 Ò=ŠÅÁtR (#þqä9$s% óOs9r& øŒÈqóstGó¡tR öNä3øn=tæ Nä3÷èuZôJtRur z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 ª!$$sù ãNä3øts öNà6oY÷t/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 `s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ÇÊÍÊÈ  
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu[363], dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
v  Dan surat An-Nisaa’ 144
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? tûï͍Ïÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 tbr߃̍è?r& br& (#qè=yèøgrB ¬! öNà6øn=tæ $YZ»sÜù=ß $·YÎ6B ÇÊÍÍÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu).[3]

C.    Pendapat ulama tentang wali
Ø  Menurut mazhab hanafi
Menurut hanafi, nikah (perkawinan) itu tidak merupakan syarat harus pakai wali. Hanafi dan beberapa penganutnya mengatakan bahwa akibat ijab (penawaran), akad nikah yang diucapkan oleh wanita yang dewasa dan berakal (akil baligh) adalah sah secara mutlak, demikian juga menurut abu jusuf, imam malik dan riwayat ibnu qasim. Beliau itu mengmukakan pendapatnya berdasarkan analisis dari Quran dan Hadist Rasul.
Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 230:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù yy$uZã_ !$yJÍköŽn=tæ br& !$yèy_#uŽtItƒ bÎ) !$¨Zsß br& $yJŠÉ)ムyŠrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# $pkß]ÍhŠu;ム5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇËÌÉÈ  
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Ø  Menurut mazhab syafi’I
Imam idris as syafi’I beserta para penganutnya bertitik tolak dari hadist Rasulullah SAW. Yang diriwayatkan oleh imam ahmad dan al tarmidzi berasal dari siti aisyah (istri rasulullah) berbunyi seperti dibawah ini:
“Barang siapa diantara perempuan yang nikah dengan tidak seizin walinya, nikah itu batal”.
Dalam hadist rasulullah tersebut terlihat bahwa seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti tanpa wali, nikah itu batal menurut hukum Islam atau nikahnya tidak sah.
Ø  Menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, akad nikah dilakukan oleh wali sendiri atau diwakilkan kepada pegawai pencatat nikah atau P3NTR atau orang lain yang menurut pegawai pencatat nikah (P3NTR) dianggap memenuhi syarat.
Seperti yang terdapat pada pasal 6 ayat 2
“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu ) tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua”.[4]    
Ø  Menurut mazhab Hambali dan Maliki
Wali sesudah ayah adalah  orang yang menerima wasiat dari ayah. Kalau ayah tidak mempunyai orang yang diwasiati, maka perwalian jatu ketangan hakim syar’iy. Sedangkan kakek , sama sekali tidak mempunyai hak dalam perwalian, sebab kkakek menurut mereka tidak bisa mempunyai posisi ayah. Kalau posisi kakek dari pihak ayah sudah seperti itu, maka apa lagi kakek dari pihak ibu.[5]




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.
Bahwa menurut mazhab syafi’I, wali merupakan syarat untuk sahnya nikah, apabila wanita menikah tanpa wali, maka nikahnya batal.
Menurut mazhab hanafi, wali tidak merupakan syarat untuk sahnya nikah, tetapi sunnah saja hukumnya boleh ada wali boleh tidak ada, yang penting harus ada izin orang tua pada waktu menikah, baik dia pria maupun wanita.
Sedangkan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974, tidak jelas mengatur tentang wali nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin orang tua bagi yang menikah apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun.

B.     Saran
Saran pemakalah kepada pembaca semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan menambah pengetahuan kita dalam mempelajari ilmu Fiqih Muqaran. Demikianlah makalah ini kami buat jika masih terdapat kekurangan yang tidak semestinya, terlebih dahulu pemakalah kebijaksanaan bapak/ibuk memakluminya. Kami juga selalu menerima kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari rekan-rekan sekalian demi masa depan kita yang lebih baik tentunya.








DAFTAR PUSTAKA

Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara), 2004
Ghazaly Rahman Abd.,  Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group), 2002
Ramulyo Idris Mohd., Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1996


[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004), Hal 11
[2] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2002), Hal 165
[3] Sayyid Sabiq, Op-Cit, Hal 11-12
[4] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Hal 216-223
[5] Abd. Rahman Ghazaly, Op-Cit, 166-167