Selasa, 24 Januari 2012

HARUN NASUTION DAN ISLAM RASIONAL


HARUN NASUTION DAN ISLAM RASIONAL
Oleh ; Adi Putra Jaya
Pendahuluan
Harun Nasution, adalah sosok ilmuan muslim yang amat berwibawa dan salah seorang tokoh pembaharu yang sangat terkanal dan cukup disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik di dalam maupun di luar negeri, dan sekaligus menjadi sumber timbulnya berbagai masalah yang menimbulkan perdebatan. Setiap kali orang mendengar nama yang terbayang adalah bahwa ia adalah seorang mantan pertor UIN Syarif Hidayatulla Jakarta yang memiliki keahlian dalam bidang teologi dan filsafat yang bercorak rasional dan cenderung liberal.
Di dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan bagaiman pandangan beliau mengenai modernism di Indonesia, dan bagai man pemikiran beliau tentang islam modern di lihat dari sudut pandang islam rasional.


HARUN NASUTION DAN ISLAM RASIONAL
1.      Biografi
Harun Nasution adalah seorang teolog islam modern yang bercorak pemikiran rasional. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuan yang banyak mengemukakan gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut Umat Islam di Indonesia.[1] Beliau dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara, yakni, Muhammad ayyub, khalil, sa’idah, harun, dan hafsah. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya.
Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Selama 7 tahun ia belajar di HIS dan tamat pada tahun 1934 ketika berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alam dan sejarah.
Setelah itu Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional. Di sinilah Harun nasution pertamakali berhubungan dengan pemikir modern islam, seperti yang dikembangkan oleh sejumlah sarja islam yang terkemuka seperti, Hamka, Zainal abiding, dan Jamil jambek.[2] Di sinilah harun nasution memulai karirnya sebagai orang yang rasional, beliau bertutur pada MIK ini sebagai berikut Di sana ku memakai dasi, dan diajarkan bahwa memelihara anjing tidak haram. Itu yang kupelajari dan kurasa cocok, kupikir mengapa harus berat-berat mengambil wubhu dahulu hanya untuk mengankat Al-Qur`an, terpikir pula, apa beda Al-Qur`an dengan kertas biasa,Al-Quran yang kupegan itu adalah kertas bukan wahyu, Wahynya tidak di situ. Apa salahnya memegang kertas tanpa wudhu lebih dahulu begitu pula soal sholat , memakai ushali atau tidak bagiku sama saja.[3]
Melihat perkembangan pemikiran Harun Nasution yang demikian itu, ayahnya yang semula memaksa Harun Nasution belajar di MIK malah bebalik melarangnya dan meminta anaknya keluar dari sekolah tersebu dan melanjutkan disebuah sekolah guru Muhammadiyah di Solo. Namun Harun Nasution tidak pergi ke solo melainkan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus belajar pengetahuan agama Islam di Tanah Suci itu, Upaya ini dilakukan karena menurut orang tuanya, pengetahuan umum yang diperoleh Harun Nasution dari sekolah Belanda sudah cukup. Selanjutnya ia harus mendalami Islam di Mekkah agar lebih lurus pemikirannya. Kemudian Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo.[4]
Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American University of Cairo.[5] Harun nasution sangat tertarik dengan negeri mesir karena negeri itu sudah berkembang dengan pesat dan hasilnya tampak nyata dengan munculnya tokoh-tokoh penting Indonesia seperti Muhammad yunus, Mukhtar Yahya, Bustami A. Ghani.[6] Pada tahun 1962, Harun nasution pergi ke McGill. Di Kanada Harun nasution menemukan apa yang diinginkannya dan memperoleh pandangan islam yang luas. Harun nasution belajar islam di McGill tidak seperti di Al-Azhar Mesir.
Di McGill, harun nasution banyak kesempatan belajar islam baik itu kesempatan ekonomi mau pun kesempatan waktu. Di McGill, harun nasution dengan mudah membeli buku karangan orang Pakistan maupun Orientalis.[7] Setelah kuliah dua setengah tahun di McGill, harun nasution mendapat gelar MA, dengan tesisnya mengenai islam di Indonesia.[8] Setelah beliau selesai memperolreh MA, harun nasution melanjutkan studinya dua setengah lagi guna memperoleh gelar Ph.D. gelar itu diperolehnya pada tahun 1968 setelah beliau menyelesaikan disertasi nya yang berjudul “posisi akal dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh”.[9]
2.      Karya-Karya Harun Nasution
Disamping sebagai seorang pengajar, Harun Nasution juga dikenal sebagai penulis.
Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain :
  • Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)
  • Filsafat Agama (1973)
  • Islam Rasional (1995)
  • Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)
  • islam ditinjau dari berbagai aspeknya
  • teologi islam[10]
Adapun karya karyanya yang berisi sebagai berikut;
  1. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini terdiri dari dua jilid, diterbitkan pertama kali oleh UI-Press, yang intinya adalah memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya. Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam menurut buku Harun ini lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-­lembaga, dan politik.
  2. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama, mengandung uraian tentang aliran dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga yang pernah terdapat dalam Islam seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahli sunnah wal jama’ah. Uraian diberikan sedemikian rupa, sehingga di dalamnya tercakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran terpenting dari masing-masing aliran atau golongan itu, dan mengandung analisa dan perbandingan dari aliran-aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran mana yang bersifat liberal, mana yang bersifat tradisional. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1972 oleh UI-Press.
  3. Filsafat Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu, ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan Tuhan. Buku ini semula diterbitkan Bulan Bintang.
  4. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978). Buku ini juga merupakan kumpulan ceramah Harun di IKIP Jakarta. Buku ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian falsafat Islam dan bagian mistisisme Islam (tasawuf). Bagian falsafat Islam menguraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafat Yunani yang kemudian melahirkan filosuf muslim seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd. Sedangkan, bagian mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Buku ini terbit perdana tahun 1973 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
  5. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini merupakan kumpulan ceramah dan kuliah Harun Nasution di berbagai tempat di Jakarta tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut periode modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaruan yang terjadi di tiga negara Islam, yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, murid dan pengikut Muhammad Abduh), Turki, (topik intinya; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, tiga aliran pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa Kemal), dan India-Pakistan (topik intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India.
  6. Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian aka I dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam. Uraian tegas buku ini menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran keagamaan sendiri. Akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk kepada teks wahyu.
  7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987). Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tesis Ph.D. Harun Nasution yang berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views”, diselesaikan bulan Maret 1968 di McGill, Montreal, Kanada. Buku ini berisi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Inti buku ini menjelaskan bahwa pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh jauh melebihi pemikiran Mu’tazilah.
  8. Islam Rasional (1995). Buku ini merekam hampir seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.[11]
3.      Pemikiran Harun Nasution
Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkem­bang pada Zaman Klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada Zaman Pertengahan Islam (1250-1800 M).Menurut beliau untuk membagi islam sebagai bahan studi, dapat kita bagi menjadi dua, yakni; islam klasik dan islam modern.[12]
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik. Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan AI-Quran dan hadits.

Sejak abad kesembilan belas ini, kembali tumbuh di Dunia Islam pemikiran rasional yang agamis dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional agamis ini.
Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath ‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.
Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara rasional.[13] Harun Nasution tahu apa yang akan ia lakukan pada masyarakat Muslim Indonesia. Hal yang demikian terjadi karena selama di luar nereri ia terus mengikuti perkembangan di Indonesia, ia berpendapat bahwa masyarakat muslim kurang maju dalam bidang ekonomi dan kebudayaan karena mereka menganut teologi yang fatalistik dan statis. Menurutnya, teologi ahl-al-Sunnah dan Ash`ariyah harus bertanggung jawab atas kemandengan ini. Kaum Muslimin berpandangan sempit dan tidak terbuka terhadap reformasi dan modernisasi, sebagai prasyarat pembangunan umat.
Inilah alasan beliau, mengapa ia ingin mengubah pandangan yang fatalistik dan tradisional ini dengan pandangan yang lebih dinamis rasional dan modern. Untuk mengimplementasikan tujuannya ini, Harun Nasution memilih jalur pendidikan, terutama perguruan tinggi.[14]
Dalam salah satu buku beliau Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerak, buku yang berasal dari kumpulan ceramah dan kuliah serta diterbitkan pertama kali taahun 1975 oleh penerbit bulan bintang, beliu membahas tentang tentang pemikiran dan pembaharuan dalam Islam yang timbul dalam priode modern. Pembahasannya mencakup pembaharuan di tiga negara Islam yakni: Mesir, Turki, dan India-Pakistan, dengan menampilkan tohoh-tokoh pembaharu dari tiga kawasan tersebut yang dari segi sifat dan coraknya tidak jauh berbeda dengan sifat dan corak pembaharuan yang terjadi di negara lain.
Harun Nasution mencoba mencari sebab-sebab terjadinya usaha-usaha pembaharuan tersebut. Sebab-sebab tersebut antara lain karena umat Islam ingin mengejar keterbelakangannya dalam bidang lmu pngetahuan, kebudayaan, ekonomi dan lain sebagainya. Umat Islam ingin mengembalikan kejayaannya sebagaimana terjadi pada abad klasik. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan kembali kepada Al-Qur`an dan al-Sunnah, membuka kembali pintu ijtihad, memurnikan akidah dari pengaruh bid`ah, khurafat dan tahayul, menghargai penggunaan pikiran, menyatukan umat Islam serta mempercayai hukum alam(Sunatullah) dalam mencapai cita-cita.[15]
Kemudian menurut beliau, konsep manusia yang terdapat dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sama dengan konsep yang diajarkan Islam. Dalam masyarakat terdapat konsep cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah akal, dan rasa adalah kalbu, Maka dalam sistem pendidikan nasional kita, pendidikan agama perlu mendapat tempat yang sama pentingnya dengan pendidikan sains. Jika tidak tujuan membina manusia seutuhnya tidak akan tercapai. Kesenjangan yang ada antara ulama agama dan ulama sains, akan tidak dapat diatasi dan mungkin akan terjadi kehancuran masyarakat yang memakai sistem pendidikan yang berdasar pada konsep Barat bahwa manusia tersusun dari unsur materi dan unsur akal saja, tanpa adanya unsur ruh.[16] Jadi menurut beliau harus ada kesenambungan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Masyarakat modern percaya pada kemampuan rasio dan pendekatan ilmiah. Namun disini kita berbicara soal agama, sementara dasar agama lebih banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan dari pada rasio. Perasaan dan keyakinan berlainan dengan rasio yang mempunyai tendensi dogmatis. Ajaran-ajaran agama oleh pemeluknya dirasakan dan diyakini sungguh benar meskipun ajaran-ajaran itu terkadang berlawanan dengan rasio. Perasaan dan keyakinan juga banyak bersifat subjektif dan kurang bersifat objektif. Selanjutnya agama banyak dan erat hubungan dengan hal-hal yang bersifat imateri dan yang tak dapat ditangkap dengan panca indera. Sementara itu pembahasan ilmiah pada umumnya dapat dipakai dengan baik hanya dalam lapangan yang bersifat materi.
Agama pada umumnya diyakini mengandung ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan, oleh karena itu ajaran-ajaran agama diyakini bersifat absolut dan mutlak benar yang harus diterima begitu saja oleh pemeluknya. Ajaran-ajaran itu merupakan dogma-dogma yang kebenarannya tidak bisa lagi dipermasalahkan oleh akal manusia. Oleh karena itu, dalam agama terdapat sikap dogmatis untuk mempertahankan yang lama dan telah mapan dan tidak bisa menerima, bahkan menentang perubahan dan pembaharuan.[17]


[1] http://mustari64.blogspot.com/2010/05/harun-nasution-islam-rasional.html

[2] Abuddin nata, tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan islam di Indonesia, (Jakarta:PT Rajawali Grafindo Persada, 2004) hal 246
[3] Ibid, hal 264
[4]http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-prof-dr-harun-nasution/
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution

[6] Nurcholish nadjid, Theologi Islam Rasional Apresiasi terhadap Wancana Praktis Harun Nasution, ( Jakarta : PT Ciputat Press, 2005) hal 5
[7] Ibid,. hal 9
[8] Ibid,. hal 10
[9] Ibid,. hal 10
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution
[11] Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001). hal. 18-22
[12] Lihat Harun nasution, Islam Rasional, (Mizan.Jakarta:1995) hal 181
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution
[14] http://mustari64.blogspot.com/2010/05/harun-nasution-islam-rasional.html
[15] http://mustari64.blogspot.com/2010/05/harun-nasution-islam-rasional.html

[16] Ibid,.
[17] Ibid,.

corak teologi syafi"i maarif

Corak Teologi Syafi"i Maarif
Oleh: Adi Putra Jaya

Pendahuluan
Dewasa ini perkembangan pemikiran teologi islam  sangatlah tampak pada tokoh-tokoh modernis di dunia islam apalagi di Indonesia saat ini, orang orang telah sibuk dengan apa yang dikatakan nya sebai suatu faham dan apa yang di bicarakan nya sebagai suatu ideology keislaman yang berbicara mengenai konsef ketuhanan atau bias di bilang konsef teologi.
Adapun salah satu tokoh modernis islam indonesia adalah syafii maarif yang berdarah minang yakni berasal dari kabupaten sijunjung. Provinsi sumatera barat. Syafii maarif adalah salah satu tokoh pembaharuan di Indonesia, ini terbukti dari kifrahnya di kanca organisasi yang di embannya yakni muhammadiah.
Di dalam makalah ini penulis tidak akan panjang lebar menjelaskan tentang modernism dunia islam Indonesia yang di jelaskan oleh syafii maarif, melainkan penulis mencoba menjelaskan bagaimana pemikiran teologinya syafii maarif. Baik itu masalah kedudukan akal dan wahyu, kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, sifat-sifat tuhan, maupun konsep iman.
AHMAD SYAFII MAARIF
a.       Biografi
Ahmad Syafi'i Ma'arif adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah (1999-2004), beliau dilahirkan pada tanggal  31 Mei 1935 di  Sumpurkudus, Kabupaten Sijunjung, provinsi Sumatera Barat, beliau dikenal sebagai seorang tokoh dan ilmuwan yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai Bapak Bangsa. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.[1] Beliau dilahirkan di lingkungan yang bisa dibilang islami. Ia dikenal sebagai sosok bijaksana dan agamis, meski banyak kalangan yang mengklaim beliau sebagai tokoh yang berpaham liberal. Memang beliau di besarkan di Yogyakarta, tetapi identitas minang nya masih kental pada dirinya, ini terbukti dari logat bahasanya dan juga pengaruh beliau di kampung halaman nya. Yakni di sumpurkudus terutama di Sumatra barat.[2]
b.      Riwayat pendidikan
Syafi’i kecil memulai pendidikannya dimulai dengan mengikuti pendidikan formal di SD Negeri Sumpurkudus, pada tahun 1947. Kemudian melanjutkan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah Sumpurkudus. Selanjutnya Syafi’i memasuki ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, yaitu di Madrasah Mu’alimin muhammadiyah lintau, setingkat dengan SLTP (Sekolah Lanjutan Menengah Pertama).
Masa sekolah Syafi’i bisa dibilang banyak menemui kesulitan. Ketika akan masuk SMA Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1956, Syafi’i ditolak karena berasal dari SLTP di Desa Lintau di Sumatera Barat, yang dianggap tidak bermutu. Ia lalu mendaftar ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di kota yang sama. Di sekolah yang mencetak kader-kader da’i Muhammadiyah itu, nilai rapor Syafi’i selalu bagus dan selalu mendapat peringkat satu.
Lulus dari Muhammadiyah, Syafi’i sempat terdaftar sebagai mahasiswa di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, sebelum masuk Fakultas Hukum Universitas Islam HOS Cokroaminoto Surakarta dan akhirnya pindah ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Sejarah IKIP Yogyakarta.
Setelah lulus sarjana dari IKIP Yogyakarta, yaitu pada tahun 1964, ia melanjutkan kuliah S2 di Illinois, Amerika Serikat. Tetapi karena anak lelakinya meninggal dunia, ia harus meninggalkan kuliah masternya dan kembali ke tanah air. Pada tahun 1980, Syafi’i memutuskan kembali ke Amerika dan mengambil kuliah di Jurusan Sejarah, Ohio University, Athens, Ohio, yang sebelumnya sempat mengajar di Indonesia beberapa tahun. Syafi’i sempat mengajar, antara lain sebagai guru bahasa indonesia dan bahasa inggris di sebuah SMP di baturetno, Surakarta (1959-1963), guru bahasa indonesia dan bahasa inggris di SMA Islam Surakarta (1963 - 1964), Dosen Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (1964 - 1969), Dosen IKIP Yogyakarta (1967-1969), Asisten dosen paruh waktu Sejarah dan Kebudayaan Islam di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1969-1972), Asisten Dosen Sejarah Asia Tenggara IKIP Yogyakarta (1969-1972), Dosen paruh waktu Sejarah Asia Barat Daya IKIP Yogyakarta (1973-1976).
Selain itu, beliau juga memiliki kegiatan lain, yaitu sebagai Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia, dan Pemimpin Redaksi majalah Suara Muhammadiyah Yogyakarta (1988-1990).
Beliau juga mengambil S3 Pemikiran Islam, Universitas Chicago, Amerika, pada tahun 1983, dan mendapat gelar Ph.D. Sejak di Chicago itulah Syafi’i memulai kuliah di bawah bimbingan Fazlur Rahman, seorang pembaharu Islam dari Mesir, yang dianggapnya banyak memberikan pencerahan, termasuk dalam memahami Alquran. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya[3]
c.       Karya tulis
·         Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan FKIS-IKIP, Yogyakarta, 1975
·         Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984
·         Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984
·         Percik-percik Pemikiran Iqbal, Shalahuddin Press, 1984
·         Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985[4]
d.      Pemikiran teologi syafii maarif
Memang banyak pemikiran yang di tuangkan oleh syafii maarif, baik itu pemikiran yang berbicara masalah modernism di dunia islam maupun pemikiran mengenai kemajuan umat islam Indonesia dewasa ini. Tetapi penulis tidak akan menyinggung masalah pengaruh pemikiran modernism yang di bawanya kepada umat islam Indonesia dewasa ini, melainkan pemikiran teologinya. Adapun pemikiran teologinya dapat kita lihat dari pemikirannyasebagai berikut.
·         Kedudukan akal dan wahyu
Memang beliau tidak pernah menyinggung masalah kedudukan akal dan wahyu. Baik di dalam pemikiran nya maupun di dalam tulisan nya, tetapi penulis berpendapat bahwa beliau meletakkan kedudukan akal sebagai konfirmasi dan wahyu sebagai informasi, ini dapat dilihat dari pemikirnanya yang banyak memakai dalil al qur’an, dan juga latar belakang lingkungan nya yang mempengaruhinya yakni lingkungan muhammadiyah.
·         Konsep iman
Konsep iman menurut beliau sangat berbeda sekali dengan konsep iman yang di jelaskan oleh HAMKA, Menurut beliau tidak adanya paksaan dalam beragama, beriman atau tidak beriman itu persoalan pilihan saja. Orang boleh beriman, boleh juga tidak. Tidak ada seorang pun yang berhak memaksa-maksa. Dalam Surat Yunus ayat 100 dinyatakan bahwa persoalan iman itu bukan urusan Allah. Itu murni hak manusia, yang muncul dari kesadaran kita semua. Yang paling penting adalah kerukunan dan tidak saling mengganggu. Tidak saling membunuh, tidak pula saling meniadakan.[5]
·         Kekuasaan dan kehendak  mutlak tuhan
Masalah kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, menurut beliau tuhan itu mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak, tetapi mustahil tuhan itu bersifat absolute, karena seandainya tuhan itu bersifat absolut maka manusia tidak bebas berkehendak dan memilih pilihannya yang bagus menurutnya. Jadi manusia itu boleh bebas tetapi bebas terkait dengan ajaran yang di yakini nya. Maksudnya manusia boleh sebebas bebas-bebasnya tetapi manusia harus juga mempertanggung jawabkan apa yang pernah ia lakukan selama ia di dunia.
·         Sifat-sifat tuhan
Pemikiran teologi islam mengenai sifat tuhan ini sama seperti corak teologinya asy’ ariyah yang berpendapat bahwa tuhan itu mempunyai sifat tetapi sifat tuhan itu tidak lain dari pada zat. Jadi dapat penuis simpulkan bahwa Menurut beliau tuhan mempunyai sifat, tetapi sifat tuhan tidak lain dari pada zat.
Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa syafii maarif memakai dua faham di dalam teologi islam yakni faham yang lebih condrong kepada faham yang bersifat rasional dan faham yang bersifat tradisional. Tetapi menurut penulis beliau boleh dikatakan sebagai tokoh yang berfaham tradisional dinamis, sebab beliau berpijak dari faham yang bersifat tradisional, kepada faham yang bersifat rasional.



DAFTAR PUSTAKA
Maarif, syafii ahmad, Studi tenteng percaturan dalam konstituante Islam dan masalah kenegaraan,(Jakarta: LP3ES 1985)
Http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafi%27i_Ma%27arif
http://www.sijunjung.go.id/?mod=sosok&pil=detil&id=4
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafi%27i_Ma%27arif
http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/13/mengenal-dekat-ahmad-syafi%E2%80%99i-ma%E2%80%99arif/
Wawancara dengan tokoh masyarakat sumpurkudus, Sumpurkudus 19 Agustus 2011



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafi%27i_Ma%27arif
[2] Wawancara dengan tokoh masyarakat sumpurkudus, Sumpurkudus 19 Agustus 2011
[3] http://www.sijunjung.go.id/?mod=sosok&pil=detil&id=4
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafi%27i_Ma%27arif
[5] http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/13/mengenal-dekat-ahmad-syafi%E2%80%99i-ma%E2%80%99arif/

ATHEIS PRAKTIS DAN ATHEIS TEORITIS


Pendahuluan
Dewasa ini pemahaman atau keterikatan mengenai ketuhanan sangat banyak bermunculan apalagi masalah ketidak yakinan seseorang kepada sang maha agung yakni Tuhan. Baik itu di dunia timur maupun di dunia barat, dikarenakan masalah semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini. Sehingga orang orang berpaling kedalam kepercayaan yang di yakini nya sebagai sesuatu yang benar, baik itu dirinya sendiri maupun alam yang tampak ini. Dan mulai meragukan keyakinan nya kepada yang di agung nya itu sendiri yakniTuhan. Dan sampai sampai ada yang meyakini bahwa tuhan itu tidak ada (atheis)..
Di dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana atheisme itu sendiri dan apa apa saja bagian dari atheis itu sendiri, baik itu atheis teoritis maupun atheis praktis,
Kemudian di dalam makalah ini, penulis juga menggambarkan bagaiman konsep yang di pakai di dalam paham atheisme prakti dan juga di dalam paham atheisme teoritis
 Memang di dalam makalah ini ada yang agak melenceng dari pembahasan yang sebenarnya sebab, penulis rasa itu perlu di bahas dan sangat wajib di ketahui dan di diskusikan, apalagi di dalam pembahasan mengenai pembagian dari atheis itu sendiri.


ATHEIS PRAKTIS DAN ATHEIS TEORITIS
1. Pengertian Atheisme
Kata Atheis berasal dari bahaasa yunani yakni Atheos yang berarti tanpa Tuhan, a artinya tidak dan theos berarti tuhan. Dan di dalam kamus filsafat disebutkan atheisme barasal dari atidak” dan Teisme paham tentang Tuhan.[1] Secara terminologi Atheis adalah suatu aliran yang tidak mengakui adanya Tuhan dan juga menolak agama sebagai jalan kehidupan. [2]
Atheis adalah suatu aliran yang muncul pada abad ke 19 masehi yang meyakini bahwa Tuhan di dalam kehidupan manusia tidaklah ada. sebenarnya atheis bukanlah suatu paham yang meyakini bahwa Tuhan tidak ada, melainkan tidak percaya bahwa Tuhan itu ada.
Atheis bukanlah suatu keyakinan atau kepercaayaan (Agama) melainkan suatu sistem ketidak percayaan atau ketidak yakinan. Atheis bukanlah sebuah agama, yang memiliki ajaran secara resmi, sebab tidak punya ajaran tertentu, tidak punya kitab suci tertentu dan tidak juga menyembah apapun.
Atheis hanyalah suatu keadaan sebatas tidak percaya bahwa Tuhan ada, tidak lebih dari itu, tapi tidak ada jaminan seorang beragama dan percaya pada tuhan akan berbuat baik. Sebenar nya pemikran bahwa tidak ada Tuhan tidak berarti juga berpikir bahwa manusia bebas melakukan apapun.
2.Latar belakang munculnya Atheis
Ateis adalah suatu paham yang muncul sekitar abad ke-19 masehi, yang mana pada masa itu sekelompok orang telah di pengaruhi oleh alam, keaktualan diri sendiri, percaya pada faktual nyata alam panca indra. Sehingga sesuatu yang di luar diri manusia itu tidaklah ada.
Pengaruh eksistensialisme pada abad ke-19 awal abad-20 telah mempengaruhi manusia. Dalam filsafat eksistensialisme, mengajarkan bahwa manusia yang sesungguhnya bereksistensi. Maksudnya manusia sama sekali bebas, ia dihukum untuk hidup dengan bebas. Dapat kita pahami bahwa eksistensilisme inilah yang sangat mempengaruhi untuk tidak percaya kepada Tuhan.[3]
            Dari rujukan lain penulis mendapatkan bahwa, latar belakang munculnya Atheis ini pertama kali di gunakan untuk merujuk pada ”kepercayaan tersendiri” pada akhir abad ke- 18 di eropa, utama nya merujuk kepada ketidak percayaan pada tuhan monoteis. Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada “ketidakpercayaan pada semua Tuhan/Dewa” walaaupun masih umum untuk merujuk atheis sebagai “ketidakpercayaan pada tuhan (monoteis).”
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya Atheis ini yakni;
À      Perkembangan teknologi dan sains
À      Faham sosial progresif
À      Faktor moraliti

Pembagian Atheis
Atheis dapat di kelompokkan menjadi beberapa bagian yakni;
1.      Atheis klasik
Atheis klasik adalah penyangkalan tuhan nerdasarkan pengalaman-pengalaman pahit yang dilalui oleh manusia dalam hidupnya. Di dalam kelompok ini di yakini bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi  manusia menjadi atheis, yakni;
·         Faktor yang meyakini bahwa bumi dan alam semesta ini tidak memperhatikan kesempurnaan yang diharapkan oleh sang pencipta.
·         Faktor yang meyakini bahwa Tuhan itu tidak adil.[4]


2.      Atheis praktis dan atheis teoritis
Di dalam paham ini, yakni atheis praktis, sebenarnya masih meyakini akan adanya Tuhan, tetapi menolak dengan cara hidupnya. Dalam hidupnya ia bertindak seolah olah tuhan tidak ada. kemudian atheis teoritis, di dalam atheis teotitis ini dapat di bagi menjadi dua yakni;
·         Atheis Teoritis Negatif, penganut paham ini mengakui bahwa tidak mengetahui tuhan, maksudnya ia kacau dalam masalah tentang ketuhanan. Meragukan keberadaan tuhan karena argumen mengenai ketuhanan itu mustahil.
·         Atheis Teoritis Positif, paham ini meyakini bahwa secara sabjektif tuhan itu tidak ada.
3.      Atheis Materialisme Dan Posiotifisme, bentuk atheis ini secara gamlang dapat di temukan dalam materialisme dan posiotifisme. Aliran aliran ini menolak keberadaan Tuhan yang rohani dan Trasenden.[5]

Atheisme Praktis Dan Atheis Teoritis
Atheisme Teoritis
Atheis teoritis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan Tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan Tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan  dan taruhan dari pascal terhadap berbagai alasan-alasan teoriis untuk menolak keberadaan Tuhan, utamanya secara ontologis, aksiologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.[6]
Atheis Praktis
Dalam atheis praktis atau prakmaatis, yang juga dikenaal sebaagai apetaisme, individu hidup tanpaa Tuhan dan menjelaskan penomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan Tuhan tidaklah disangkal, namun dapaat dianggap sebagaai tidak penting dan tidak berguna, tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme motodologis, yaaitu pengambilan asumsi naturaalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak di ucapkan dengan ataaupun tanpa secara penuh menerima atau menerimanya.
Atheis praktis ini dapat berupa;
·         Ketiadaaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk lainnya.
·         Mengesampingkan masalah tuhan daan religi secara aktif dan dan penelusuran intelek dan tindakaan praktis
·         Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permaasalahan tuhan dan agamaa
·         Ketidak taahuaan akaan konsef tuhan dan dewa.[7]


Daftar Pustaka
Loreus isqut,kamus filsafat, (jakarta ; PT. Gramedia, 1996)
M. Yafas, diktat perbandingan Teologi,(padang: 1993)
Harry hemersma, tokoh-tokoh filsafat modern, (jakarta ; PT. Gramedia. 1992)
Lois leaby, masalah ketuhanan dewasa ini, (yogyakarta: leanusius, 1982),
Wahyu nafis, presing Over melintasi batas agama, (jakarta; PT. Gramedia. 1998)
http//uphiedrgon.wordpress.com/2008/09/22/ateisme sebagai permasalahan terminologis



[1] Loreus isqut,kamus filsafat, (jakarta ; PT. Gramedia, 1996) hal 94
[2] M. Yafas, diktat perbandingan Teologi,(padang: 1993) hal. 140
[3] Harry hemersma, tokoh-tokoh filsafat modern, (jakarta ; PT. Gramedia< 1992) hal 80
[4] Lois leaby, masalah ketuhanan dewasa ini, (yogyakarta: leanusius, 1982), hal 80
[5] Wahyu nafis, presing Over melintasi batas agama, (jakarta; PT. Gramedia. 1998) hal 88
[6] http//uphiedrgon.wordpress.com/2008/09/22/ateisme sebagai permasalahan terminologis
[7] ..ibid