MELIHAT TUHAN DI
AKHIRAT
1.
Pendahuluan
Agama Islam memiliki tiga bentuk kerangka pokok
ajaran yang saling menguatkan satu sama yang lainnya yaitu aqidah, syariat dan
akhlak. Kesemuanya itu merupakan suatu kesatuan yang hanya dapat dibedakan,
tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.[1]
Hubungan ketiga hal itu seperti akar, batang, buah pada sebuah pohon. Aqidah
merupakan aspek yang paling fundamental dalam Islam yang dibahas dalam teologi
Islam, syariat merupakan satu aspek furu’nya yang dikaji dalam ilmu fiqih,
sedangkan akhlak adalah tentang aplikasi dari kedua aspek di atas.[2]
Teologi Islam disebut juga dengan ‘ilm al- tauhid atau ilm al- kalam, pembahasannya
berkisar tentang ajaran pokok dalam suatu agama. Teologi Islam merupakan salah
satu disiplin ilmu telah tumbuh pada zaman
klasik, bahkan ilmu ini pernah menempati posisi yang cukup terhormat
dalam tradisi keilmuan pada masa pemerintahan al- Makmun yang menjadikan aliran
ini sebagai mazhab resmi yang dianut oleh Negara.[3]
Teologi yang berkembang di zaman klasik telah mampu
mengantarkan umat Islam kepada kemajuan di berbagai bidang, ini dapat dipahami bahwa teologi Islam bukan hanya sebatas dalam artian agama
sebagai ajaran yang bersifat abstrak, akan tetapi merupakan pemikiran reflektif
seseorang yang beriman yaitu untuk memperkokoh iman yang telah diresapinya.[4]
Karena itu rumusan tologi Islam sebagai rumusan akal pikiran manusia yang lahir
berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kebutuhan generasi pada kurun sejarah
tertentu.[5]
Keadaan sosial, politik, ekonomi serta pendidikan memberikan pengaruh serta
warna dalam pemikiran teologi seseorang atau kelompok masyarakat tertentu.
Sehingga muncullah dikalangan umat Islam
aliran - aliran teologi, ada yang bersifat rasional dan tradisional,
bahkan bersifat antara keduanya (
moderat). Namun apa pun aliran yang
berkembang dan dianut oleh seseorang
tidaklah menyebabkan keluar dari Islam, karena semua aliran itu hanya
berhubungan dengan interpretasi saja bukanlah hal yang pokok.[6]
Teologi rasional
merupakan teologi aliran
Mu’tazilah, menurut sejarahnya yaitu
aliran yang banyak mengadopsi buku-buku falsafah dan ilmu pengetahuan Yunani, rasio atau akal mempunyai kedudukan
tinggi. Akan tetapi, walupun aliran
Mu’tazilah banyak mempergunakan rasio mereka tidak meninggalkan wahyu, dalam
pemikiran mereka seluruhnya terikat pada wahyu yang ada dalam Islam.[7]
Perkembangan aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional ini pada awalnya sangat
menarik bagi kaum inteligensia yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan
kerajaan Islam Abbasiah di permulaan
abad ke-9 M (813-833). Sehingga khalifah al-Makmun menjadikan teologi Mutazilah
sebagai mazhab resmi dianut Negara seperti yang dipaparkan di atas tadi.
Selanjutnya karena telah menjadi mazhab resmi, kaum Mu’tazilah melakukan
kekerasan dan juga secara paksa dalam menyebarkan ajaranya.[8]
Dengan demikian maka aliran Mu’tazilah mendapat
tantangan yang keras dari golongan teologi yang bercorak tradisional dalam
Islam terutama golongan Ahmad bin Hanbal.
Teologi
tradisional pertama kali di susun oleh Abu Hasan al- Asy’ari (935 M)
yang sebelumnya pengikut aliran Mu’tazilah. Pada zaman pertengahan inilah
berkembangnya aliran Asy’ari sampai ke berbagai Negara. Hal yang menyebabkan mudah berkembangnya
aliran ini, dikarenakan ajarannya yang mudah dimengerti oleh masyarakat, tidak
membutuhkan pemikiran filosofis dan juga
pengetahuan masyarakat pada waktu itu masih banyak yang awwan.
Beda halnya dengan ajaran Mu’tazilah yang bersifat
rasional yang menghadapi kaum intelektual atau inteligensia, yang membutuhkan
kepada tingkat pemahaman analisis, kritis dan filosofis[9]
Di dalam pembahasan mengenai teologi islam, ada
beberapa pembahsan pokok yang sering dibahas di dalam teologi islam ataupun
ilmu kalam, yakni; perbuatan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat dan nama Tuhan,
keadilan Tuhan, melihat Tuhan di Akhirat, dan lainnya. Makalah akan membahas
masalah-masalah yang terdapat di dalam teologi islam, melainkan penulis mencoba
membahas masalah mengenai Melihat Tuhan di Akhirat menurut para mutakallimin.
2.
Melihat
Tuhan di Akhirat
Setiap melaksanakan ibadah khususnya pada waktu
sholat, bila tidak disertai perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Allah
swt, maka ibadah itu tidak tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik).
Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya (Sholat) itu memang berat
kecuali bagi mereka yang khusyu yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan
Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah
2 : 45)
Dikalangan umat Islam terdapat beberapa pendapat
tentang Tajalli “melihat Tuhan” yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dapat Tajalli atau melihat Tuhan di akhirat
2. Tidak dapat melihat Tuhan di dunia maupun di
akhirat
3. Dapat melihat Tuhan di dunia dengan mata hati,
sedang di akhirat dengan lebih nyata.
Seluruh Ulama di
kalangan Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah sepakat bahwa semua orang mukmin akan melihat
Allah SWT. di akhirat kelak dengan berpedoman pada firman Allah :
“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri karena
memandang kepada Tuhan-Nya”.(QS. Al-Qiyamah : 22-23)
“Untuk orang yang berbuat baik dengan
perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat TuhanNya)”. (QS. Yunus 10
: 26)
“Ketahuilah,
sesungguhnya mereka pada hari itu terdinding untuk memandang Tuhan-Nya” (QS
Al-Muthaffifin 83 : 15).
Nabi Muhammad juga pernah bersabda mengenai masalah
Tajalli atau melihat Allah : “Dari Abi
Hurairah r.a, sesungguhnya orang-orang (Para Sahabat) bertanya : Ya Rosulullah,
apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat ? Maka Rasulullah menjawab :
“Sulitkan kamu melihat bulan di malam bulan purnama ? Para sahabat menjawab :
Tidak ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi : “Apakah kamu sulit melihat
matahari diwaktu tanpa awan ?”Pra sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah.
Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu”. ( HR Bukhari dari Abu
Hurairah )
Syeikh Rabi r.a berkata : Saya telah mendengar Imam
Syafi’i berkata : “Kami tahu tentang itu (melihat Tuhan) bahwa ada golongan
yang tidak terdinding memandang kepada-Nya, mereka tidak bergerombol
melihat-Nya”. “Sesungguhnya kedudukan sorga yang paling rendah ialah penghuni
sorga yang melihat sorganya, isterinya, pembantunya dan pelaminannya dari jarak
perjalanan seribu tahun. Dan penghuni sorga yang paling mulia diantara mereka
ialah yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Di hari itu penuh ceria
memandang TuhanNya”. ( HR Turmudzi dari Stuwair r.‘a diterima beliau dari Ibnu
‘Umar r.a )
Adapun golongan
Mu’tazilah meyakini bahwa mustahil untuk dapat Tajalli (melihat Tuhan) di dunia
maupun di akhirat dengan berpedoman pada firman Allah :
“Tidak ada mata yang dapat melihat Tuhan,
tetapi Tuhan dapat melihat mata” (QS Al An’am 6 : 103 )
Demikian pula dengan ayat 22-23 surat Al-Qiyamah,
perkataan nazirah (melihat) mereka
artikan dengan menunggu. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa yang terdapat
pada Hadits-hadits Rasulullah SAW. Zamakhsyari, seorang Ulama tafsir di
kalangan Mu’tazilah hanya menyatakan “mustahil dapat melihat Tuhan di dunia
maupun di akhirat” tanpa memberikan penjelasan dan dasar alasan yang lebih
meyakinkan. Syeikh ‘Allamah Al-Qori menyindir golongan Mu’tazilah dengan
Syi’irnya: Orang Mukmin melihat Tuhannya, tanpa bentuk tanpa umpama, nikmat
lain tiada arti, dibanding melihat Ilahi Rabbi, kaum Mu’tazilah rugi seribu
rugi.[10]
Menurut pandangan golongan Muktazilah
bahwa Tuhan, karena bersifat nonmateri, tak dapat dilihat oleh mata kepala.
Mereka berargumen bahwa Tuhan tidak mengambil tempat, baik di dunia maupun di
akhirat dan dengan demikian Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, karena yang
dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat. Jadi menurut mereka kalau Tuhan
dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, tentu akan dapat dilihat di alam
dunia sekarang.[11]
Menurut kaum Asy-Asyariah seperti
Argumentasi yang mereka kemukakan adalah bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan
melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Melihat Tuhan di akhirat dengan mata
kepala adalah suatu hal yang bukan mustahil. Mereka mengatakan bahwa yang tak
dapat dilihat adalah yang tak berwujud. Yang mempunyai wujud tidak mustahil
dapat dilihat.
Tuhan adalah berwujud dan oleh karenanya
tidak mustahil dapat dilihat. Ayat Alquran yang mereka jadikan dasar ialah
Surah Al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin)
pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Dasar lain juga pada Surah Al-A'raf ayat
143 yang artinya, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada
waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,
berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku
dapat melihat kepada Engkau.’ Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’...”[12]
Dalam membahas meliht Tuhan di Akhirat, terdapat dua
pendapat :
1. Tajalli atau Melihat Tuhan hanya di akhirat saja.
2. Tajalli atau Melihat Tuhan hanya bukan di akhirat
saja tetapi juga dapat Tajalli atau melihat Tuhan selagi di dunia ini, yaitu
dengan “mata batin” (bashirah).
Kedua pendapat tersebut didasari dengan alasan : bahwa
Rasulullah SAW pada waktu melakukan Isra Mi’raj benar-benar melihat Tuhan,
sehingga Sayidina Hasan bin ‘Ali r.a berani bersumpah sewaktu menerangkan hal
itu. Demikian pula dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Ibnu ‘Abbas r.a, yang oleh Imam Nawawi disimpulkan: “Kesimpulannya,
Sesungguhnya rajih (alasan kuat)
menurut sebagian Ulama bahwa Rasulullah SAW. melihat Tuhannya dengan nyata atau
dengan mata, pada malam Isra berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan lain-lain”.
Menurut Syeikh Ibnu Hajar Haitami tentang Rasulullah
melihat Tuhan di malam Isra : “Dikalangan Ahlus Sunnah telah terjadi
kesepakatan tentang masalah Rasulullah melihat Tuhan di malam Mi’raj dengan
nyata / mata”. Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah dengan mata
batinnya, sebagai suatu “Karomah” untuk mereka, seperti juga mukjizat untuk
Rasulullah SAW.
Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan Ulama
Shufi umumnya mengemukakan : “Apabila ruhaniyah dapat menguasai basyariyah
(fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata tidak akan
melihat, kecuali hanya dengan pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata
batin” Pengertian “ruhaniyah dapat menguasai basyariyat” dapat diambil misal,
seorang yang sangat takut dengan hantu. Rasa takut tersebut akan sangat
mempengaruhi jiwanya, sehingga apabila ia berjalan pada malam hari, kemudian
tiba-tiba ia melihat pohon atau daun pisang yang bergerak tertiup angin, maka
ia akan berlari ketakutan karena dikiranya hal itu adalah sosok hantu yang
menakutkan. Bisa juga terjadi melihat Tuhan di dalam mimpi. Dalam kitab
Sirajut-Tholibin disebutkan : “Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar
Ulama Shufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan”. Dikalangan ulama Shufi terdapat
keyakinan bahwa “melihat Tuhan bisa terjadi dengan pandangan mata batin yang
mendapat n u r dari Allah SWT, yang oleh Syeikh Junaid disebut Nurul Imtinan.
Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat waro’
(tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang Shufi besar pada zamannya, yang
tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh Shufi besar adalah murid-murid
beliau. Antara lain, Abu ‘Ali Ad-Daqaq, Abu Bakar Al-Atthar, Al-Jurairi,
‘Athowi dan lain-lain. Diceritakan saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara
terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Qur’an. Beliau wafat pada
hari Jum’at tahun 297 Hijriyah, setelah selesai membaca ayat ke 70 Surat.
Al-Baqarah.
Sehubungan dengan ucapan beliau tentang Tuhan, murid
beliau bertanya :“Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu
engkau menyembah-Nya ? Beliau menjawab : “Kami (Para Arif) tidak akan menyembah-Nya
bila kami tidak melihat-Nya. Kami juga tidak akan bertasbih untuk-Nya bila kami
tidak mengenal-Nya”. Kesimpulannya adalah, bahwa melihat Tuhan di dunia
sepanjang pendapat para ‘Arif bila bisa saja terjadi, dengan Nur Mukhasyafah.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah, bahwa
yang dimaksud dengan “melihat” bukan berarti melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan
rupa, bentuk atau warnanya dari Zat Tuhan), yang mereka istilahkan “bi ghoiri
kaifin wa hashrin wa dhorbin min mistalin”. Selain itu mereka pun mengakui
bahwa penglihatan kelak diakhirat jauh lebih jelas dan lebih nyata dibanding
apa yang mereka lihat di dunia sekarang. “
Imam Qurthuby berkata : “Melihat Allah SWT di dunia
(dengan mata hati) dapat diterima akal. Kalau sekiranya tidak bisa, tentulah
permintaan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Tuhan adalah hal yang mustahil.
Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa yang boleh dan dan apa yang tidak
boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi Musa tidak meminta, hal ini bisa
terjadi dan bukan mustahil”.(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an) “
Dan firman Allah : “Tatkala Tuhan tajalli / tampak
nyata pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur” Maka apabila
Allah bias tajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, kenapa
tidak mungkin Allah “ tajalli ” pada Rasul-Rasul-Nya dan Wali-WaliNya ?”
(Kawasyiful-Jilliyah)[13]
3.
Penutup
1.
Kesimpulan
Pembahasan di dalam masalah teologi islam merupakan
pembahasan yang sangat menarik untuk di pelajari lebih lanjut, apalagi
pembhasan ini terkait mengenai masalah masalah ketuhanan yang melibatkan alam
di dalamnya. Pembahasan mengenai melihat Tuhan di akhirat merupakan pembahasan
yang menarik untuk didiskusikan.
Dari penjabaran di atas dapat penulis simpulkan ada
dua pandangan mengenai tajalli (melihat Tuhan), yakni;Pendapat pertama Tuhan
itu tidak dapat dihat dan pendapat kedua Tuhan itu dapat dilihat. Dari kedua
pandangan tersebut penulis menemukan beberapa alasan yang mendasari lahirnya
kedua pandangan tersebut, misalnya menurut pandangan mu’tazilah, Tuhan itu
tidak dapat dilihat, sebab Tuhan itu bukan bersifat materi sedangkan menurut
kaum Asy-Asyiariah Tuhan itu dapat dilihat sebab Tuhan bersifat wujud.
2.
Saran
Penulis
akui bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Sebab penulis merasa bahwa
banyak sekali kekurangan yang harus penulis lengkapi untuk melengkapi makalah
ini. Untuk itu penulis berharap kepada rekan-rekan agar bisa memberi masukan
maupun tambahan untuk makalah ini, sehingga makalah bisa seperti apa yang
diharapkan.
[1] Rosniati Hakim, Metodologi
Studi Islam I, ( Padang : Baitul Hikmah, 2000), hal. 113
[2] Ibid., hal. 121
[3] Harun Nasution, Teologi
Islam:Aliran- Aliran dan Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta : UI- Press, 1986), hal. 61
[4]
M. Masyhur Amin (ed)
Teologi Pembangunan, Paradigma Baru
Pemikiran Islam, ( Yogyakarta : LKPSM-NU, 1989), hal. X
[5] Ermagusti, Konsep Theology Rasional: Telaah Kritis Terhadap Pemikiran Harun
Nasution, (Padang : IAIN –IB Press, 2000), hal. 2
[6] Harun Nasution., Op. cit., hal. X
[7] Ibid., hal. 10
[8] Ajaran kaum Mu’tazilah mengenai Al-
Qur’an bersifat makhluk yaitu diciptakan, Ibid ,.
[10] http://walijo.com/tajalli/02/12/2012/
[11]http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/18/m5tgnw-ensiklopedi-hukum-islam-melihat-allah-di-akhirat/02/12/2012/
[12] Op,.Cit,.
[13] Op,.cit,.
ahsantum, syukran atas ilmunya
BalasHapus