Sabtu, 08 Desember 2012

MELIHAT TUHAN DI AKHIRAT


MELIHAT TUHAN DI AKHIRAT
1.                  Pendahuluan
Agama Islam memiliki tiga bentuk kerangka pokok ajaran yang saling menguatkan satu sama yang lainnya yaitu aqidah, syariat dan akhlak. Kesemuanya itu merupakan suatu kesatuan yang hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.[1] Hubungan ketiga hal itu seperti akar, batang, buah pada sebuah pohon. Aqidah merupakan aspek yang paling fundamental dalam Islam yang dibahas dalam teologi Islam, syariat merupakan satu aspek furu’nya yang dikaji dalam ilmu fiqih, sedangkan akhlak adalah tentang aplikasi dari kedua aspek di atas.[2]
Teologi Islam disebut juga dengan ‘ilm al- tauhid atau ilm al- kalam, pembahasannya berkisar tentang ajaran pokok dalam suatu agama. Teologi Islam merupakan salah satu disiplin ilmu telah tumbuh pada zaman  klasik, bahkan ilmu ini pernah menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan pada masa pemerintahan al- Makmun yang menjadikan aliran ini sebagai mazhab resmi yang dianut oleh Negara.[3]
Teologi yang berkembang di zaman klasik telah mampu mengantarkan umat Islam kepada kemajuan di berbagai bidang, ini dapat  dipahami bahwa teologi Islam  bukan hanya sebatas dalam artian agama sebagai ajaran yang bersifat abstrak, akan tetapi merupakan pemikiran reflektif seseorang yang beriman yaitu untuk memperkokoh iman yang telah diresapinya.[4] Karena itu rumusan tologi Islam sebagai rumusan akal pikiran manusia yang lahir berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kebutuhan generasi pada kurun sejarah tertentu.[5] Keadaan sosial, politik, ekonomi serta pendidikan memberikan pengaruh serta warna dalam pemikiran teologi seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Sehingga muncullah dikalangan umat Islam  aliran - aliran teologi, ada yang bersifat rasional dan tradisional, bahkan bersifat antara  keduanya ( moderat). Namun  apa pun aliran yang berkembang dan dianut oleh seseorang  tidaklah menyebabkan keluar dari Islam, karena semua aliran itu hanya berhubungan dengan interpretasi saja bukanlah hal yang pokok.[6]
Teologi rasional  merupakan  teologi aliran Mu’tazilah,  menurut sejarahnya yaitu aliran yang banyak mengadopsi buku-buku falsafah dan ilmu pengetahuan Yunani,  rasio atau akal mempunyai kedudukan tinggi.  Akan tetapi, walupun aliran Mu’tazilah banyak mempergunakan rasio mereka tidak meninggalkan wahyu, dalam pemikiran mereka seluruhnya terikat pada wahyu yang ada dalam Islam.[7] Perkembangan aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional ini pada awalnya sangat menarik bagi kaum inteligensia yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan kerajaan Islam Abbasiah  di permulaan abad ke-9 M (813-833). Sehingga khalifah al-Makmun menjadikan teologi Mutazilah sebagai mazhab resmi dianut Negara seperti yang dipaparkan di atas tadi. Selanjutnya karena telah menjadi mazhab resmi, kaum Mu’tazilah melakukan kekerasan dan juga secara paksa dalam menyebarkan ajaranya.[8]
Dengan demikian maka aliran Mu’tazilah mendapat tantangan yang keras dari golongan teologi yang bercorak tradisional dalam Islam terutama golongan Ahmad bin Hanbal.
Teologi  tradisional pertama kali di susun oleh Abu Hasan al- Asy’ari (935 M) yang sebelumnya pengikut aliran Mu’tazilah. Pada zaman pertengahan inilah berkembangnya aliran Asy’ari sampai ke berbagai Negara.  Hal yang menyebabkan mudah berkembangnya aliran ini, dikarenakan ajarannya yang mudah dimengerti oleh masyarakat, tidak membutuhkan pemikiran  filosofis dan juga pengetahuan masyarakat pada waktu itu masih banyak yang awwan.
Beda halnya dengan ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional yang menghadapi kaum intelektual atau inteligensia, yang membutuhkan kepada tingkat pemahaman analisis, kritis dan filosofis[9]
Di dalam pembahasan mengenai teologi islam, ada beberapa pembahsan pokok yang sering dibahas di dalam teologi islam ataupun ilmu kalam, yakni; perbuatan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat dan nama Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan di Akhirat, dan lainnya. Makalah akan membahas masalah-masalah yang terdapat di dalam teologi islam, melainkan penulis mencoba membahas masalah mengenai Melihat Tuhan di Akhirat menurut para mutakallimin.
2.                  Melihat Tuhan di Akhirat
Setiap melaksanakan ibadah khususnya pada waktu sholat, bila tidak disertai perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Allah swt, maka ibadah itu tidak tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik). Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45)
Dikalangan umat Islam terdapat beberapa pendapat tentang Tajalli “melihat Tuhan” yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dapat Tajalli atau melihat Tuhan di akhirat
2. Tidak dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat
3. Dapat melihat Tuhan di dunia dengan mata hati, sedang di akhirat dengan lebih nyata.
Seluruh Ulama di kalangan Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah sepakat bahwa semua orang mukmin akan melihat Allah SWT. di akhirat kelak dengan berpedoman pada firman Allah :
 
“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri karena memandang kepada Tuhan-Nya”.(QS. Al-Qiyamah : 22-23)

“Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat TuhanNya)”. (QS. Yunus 10 : 26)

“Ketahuilah, sesungguhnya mereka pada hari itu terdinding untuk memandang Tuhan-Nya” (QS Al-Muthaffifin 83 : 15).
Nabi Muhammad juga pernah bersabda mengenai masalah Tajalli atau melihat Allah : “Dari Abi Hurairah r.a, sesungguhnya orang-orang (Para Sahabat) bertanya : Ya Rosulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat ? Maka Rasulullah menjawab : “Sulitkan kamu melihat bulan di malam bulan purnama ? Para sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi : “Apakah kamu sulit melihat matahari diwaktu tanpa awan ?”Pra sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu”. ( HR Bukhari dari Abu Hurairah )
Syeikh Rabi r.a berkata : Saya telah mendengar Imam Syafi’i berkata : “Kami tahu tentang itu (melihat Tuhan) bahwa ada golongan yang tidak terdinding memandang kepada-Nya, mereka tidak bergerombol melihat-Nya”. “Sesungguhnya kedudukan sorga yang paling rendah ialah penghuni sorga yang melihat sorganya, isterinya, pembantunya dan pelaminannya dari jarak perjalanan seribu tahun. Dan penghuni sorga yang paling mulia diantara mereka ialah yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Di hari itu penuh ceria memandang TuhanNya”. ( HR Turmudzi dari Stuwair r.‘a diterima beliau dari Ibnu ‘Umar r.a )
Adapun golongan Mu’tazilah meyakini bahwa mustahil untuk dapat Tajalli (melihat Tuhan) di dunia maupun di akhirat dengan berpedoman pada firman Allah :
“Tidak ada mata yang dapat melihat Tuhan, tetapi Tuhan dapat melihat mata” (QS Al An’am 6 : 103 )
Demikian pula dengan ayat 22-23 surat Al-Qiyamah, perkataan nazirah (melihat) mereka artikan dengan menunggu. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa yang terdapat pada Hadits-hadits Rasulullah SAW. Zamakhsyari, seorang Ulama tafsir di kalangan Mu’tazilah hanya menyatakan “mustahil dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat” tanpa memberikan penjelasan dan dasar alasan yang lebih meyakinkan. Syeikh ‘Allamah Al-Qori menyindir golongan Mu’tazilah dengan Syi’irnya: Orang Mukmin melihat Tuhannya, tanpa bentuk tanpa umpama, nikmat lain tiada arti, dibanding melihat Ilahi Rabbi, kaum Mu’tazilah rugi seribu rugi.[10]
Menurut pandangan golongan Muktazilah bahwa Tuhan, karena bersifat nonmateri, tak dapat dilihat oleh mata kepala. Mereka berargumen bahwa Tuhan tidak mengambil tempat, baik di dunia maupun di akhirat dan dengan demikian Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat. Jadi menurut mereka kalau Tuhan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, tentu akan dapat dilihat di alam dunia sekarang.[11]
Menurut kaum Asy-Asyariah seperti Argumentasi yang mereka kemukakan adalah bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Melihat Tuhan di akhirat dengan mata kepala adalah suatu hal yang bukan mustahil. Mereka mengatakan bahwa yang tak dapat dilihat adalah yang tak berwujud. Yang mempunyai wujud tidak mustahil dapat dilihat.
Tuhan adalah berwujud dan oleh karenanya tidak mustahil dapat dilihat. Ayat Alquran yang mereka jadikan dasar ialah Surah Al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Dasar lain juga pada Surah Al-A'raf ayat 143 yang artinya, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.’ Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’...”[12]
Dalam membahas meliht Tuhan di Akhirat, terdapat dua pendapat :
1. Tajalli atau Melihat Tuhan hanya di akhirat saja.
2. Tajalli atau Melihat Tuhan hanya bukan di akhirat saja tetapi juga dapat Tajalli atau melihat Tuhan selagi di dunia ini, yaitu dengan “mata batin” (bashirah).
Kedua pendapat tersebut didasari dengan alasan : bahwa Rasulullah SAW pada waktu melakukan Isra Mi’raj benar-benar melihat Tuhan, sehingga Sayidina Hasan bin ‘Ali r.a berani bersumpah sewaktu menerangkan hal itu. Demikian pula dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbas r.a, yang oleh Imam Nawawi disimpulkan: “Kesimpulannya, Sesungguhnya rajih (alasan kuat) menurut sebagian Ulama bahwa Rasulullah SAW. melihat Tuhannya dengan nyata atau dengan mata, pada malam Isra berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan lain-lain”.
Menurut Syeikh Ibnu Hajar Haitami tentang Rasulullah melihat Tuhan di malam Isra : “Dikalangan Ahlus Sunnah telah terjadi kesepakatan tentang masalah Rasulullah melihat Tuhan di malam Mi’raj dengan nyata / mata”. Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah dengan mata batinnya, sebagai suatu “Karomah” untuk mereka, seperti juga mukjizat untuk Rasulullah SAW.
Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan Ulama Shufi umumnya mengemukakan : “Apabila ruhaniyah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata tidak akan melihat, kecuali hanya dengan pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin” Pengertian “ruhaniyah dapat menguasai basyariyat” dapat diambil misal, seorang yang sangat takut dengan hantu. Rasa takut tersebut akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga apabila ia berjalan pada malam hari, kemudian tiba-tiba ia melihat pohon atau daun pisang yang bergerak tertiup angin, maka ia akan berlari ketakutan karena dikiranya hal itu adalah sosok hantu yang menakutkan. Bisa juga terjadi melihat Tuhan di dalam mimpi. Dalam kitab Sirajut-Tholibin disebutkan : “Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar Ulama Shufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan”. Dikalangan ulama Shufi terdapat keyakinan bahwa “melihat Tuhan bisa terjadi dengan pandangan mata batin yang mendapat n u r dari Allah SWT, yang oleh Syeikh Junaid disebut Nurul Imtinan.
Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat waro’ (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang Shufi besar pada zamannya, yang tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh Shufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain, Abu ‘Ali Ad-Daqaq, Abu Bakar Al-Atthar, Al-Jurairi, ‘Athowi dan lain-lain. Diceritakan saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Qur’an. Beliau wafat pada hari Jum’at tahun 297 Hijriyah, setelah selesai membaca ayat ke 70 Surat. Al-Baqarah.
Sehubungan dengan ucapan beliau tentang Tuhan, murid beliau bertanya :“Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau menyembah-Nya ? Beliau menjawab : “Kami (Para Arif) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Kami juga tidak akan bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenal-Nya”. Kesimpulannya adalah, bahwa melihat Tuhan di dunia sepanjang pendapat para ‘Arif bila bisa saja terjadi, dengan Nur Mukhasyafah.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah, bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukan berarti melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warnanya dari Zat Tuhan), yang mereka istilahkan “bi ghoiri kaifin wa hashrin wa dhorbin min mistalin”. Selain itu mereka pun mengakui bahwa penglihatan kelak diakhirat jauh lebih jelas dan lebih nyata dibanding apa yang mereka lihat di dunia sekarang. “
Imam Qurthuby berkata : “Melihat Allah SWT di dunia (dengan mata hati) dapat diterima akal. Kalau sekiranya tidak bisa, tentulah permintaan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Tuhan adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa yang boleh dan dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi Musa tidak meminta, hal ini bisa terjadi dan bukan mustahil”.(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an) “
Dan firman Allah : “Tatkala Tuhan tajalli / tampak nyata pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur” Maka apabila Allah bias tajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, kenapa tidak mungkin Allah “ tajalli ” pada Rasul-Rasul-Nya dan Wali-WaliNya ?” (Kawasyiful-Jilliyah)[13]



3.                   Penutup
1.                   Kesimpulan
Pembahasan  di dalam masalah teologi islam merupakan pembahasan yang sangat menarik untuk di pelajari lebih lanjut, apalagi pembhasan ini terkait mengenai masalah masalah ketuhanan yang melibatkan alam di dalamnya. Pembahasan mengenai melihat Tuhan di akhirat merupakan pembahasan yang menarik untuk didiskusikan.
Dari penjabaran di atas dapat penulis simpulkan ada dua pandangan mengenai tajalli (melihat Tuhan), yakni;Pendapat pertama Tuhan itu tidak dapat dihat dan pendapat kedua Tuhan itu dapat dilihat. Dari kedua pandangan tersebut penulis menemukan beberapa alasan yang mendasari lahirnya kedua pandangan tersebut, misalnya menurut pandangan mu’tazilah, Tuhan itu tidak dapat dilihat, sebab Tuhan itu bukan bersifat materi sedangkan menurut kaum Asy-Asyiariah Tuhan itu dapat dilihat sebab Tuhan bersifat wujud.
2.                   Saran
Penulis akui bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Sebab penulis merasa bahwa banyak sekali kekurangan yang harus penulis lengkapi untuk melengkapi makalah ini. Untuk itu penulis berharap kepada rekan-rekan agar bisa memberi masukan maupun tambahan untuk makalah ini, sehingga makalah bisa seperti apa yang diharapkan.


[1] Rosniati Hakim, Metodologi Studi Islam I, ( Padang : Baitul Hikmah, 2000), hal. 113
[2] Ibid., hal. 121
[3] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran- Aliran  dan Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI- Press, 1986), hal. 61
[4] M. Masyhur Amin (ed) Teologi Pembangunan, Paradigma Baru Pemikiran Islam, ( Yogyakarta : LKPSM-NU, 1989), hal. X
[5] Ermagusti, Konsep Theology Rasional: Telaah Kritis Terhadap Pemikiran Harun Nasution, (Padang : IAIN –IB Press, 2000), hal. 2
[6] Harun Nasution., Op. cit., hal. X
[7] Ibid.,  hal. 10
[8] Ajaran kaum Mu’tazilah mengenai Al- Qur’an bersifat makhluk yaitu diciptakan,  Ibid ,.
[9] Ibid ,.
[10] http://walijo.com/tajalli/02/12/2012/
[11]http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/18/m5tgnw-ensiklopedi-hukum-islam-melihat-allah-di-akhirat/02/12/2012/
[12] Op,.Cit,.
[13] Op,.cit,.

1 komentar: